Aether Veins Arc
Langkah kaki gadis itu menyentuh tanah dengan ringan, namun seolah cukup untuk mengguncang medan perang yang membisu. Debu dan sisa-sisa energi sihir terangkat, mengitari sosoknya yang mendekat perlahan dari kejauhan.
Pasukan dari kedua kubu, baik manusia maupun penyihir menyaksikan dengan mata lebar, sebagian bahkan gemetar. Aura yang menyelimuti gadis itu bukanlah aura seorang penyihir yang mereka ketahui—itu adalah sesuatu yang jauh lebih tua, lebih gelap... dan jauh lebih mengancam.
Beberapa penyihir pendeteksi sihir, yang berada di garis belakang, segera bereaksi. Salah satu dari mereka, seorang pria tua berambut putih bernama Heigon, menggerakkan jemarinya cepat untuk membaca frekuensi energi yang datang dari tubuh Lysandra.
"Bukan sihir miliknya," gumamnya. "Tapi, juga bukan sepenuhnya. Kekuatan yang keluar baru tiga puluh persen. Sisanya masih terkunci, seperti ada perjanjian atau penghalang dari dalam tubuh Lysandra."
Para penyihir lainnya saling pandang dengan ekspresi ngeri.
"Jadi tubuh itu masih dikendalikan oleh Lysandra, meski ia dalam kondisi tak sadar?" ujar salah satu dari mereka.
Heigon mengangguk pelan. "Ya, dia masih memegang kendali utama. Tapi yang mengemudikan tubuhnya saat ini jelas bukan Lysandra."
Di tengah arena yang berantakan, Lucifer masih berdiri—meski lelah dan goyah, tubuhnya dipenuhi luka. Matanya melebar saat menatap sosok adiknya yang kini berjalan ke arahnya dengan langkah santai dan aura tak bersahabat.
"Lysandra, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucifer.
Namun detik berikutnya, ia tahu itu bukan adiknya. Bahkan tanpa sihir, ia bisa merasakannya. Senyum yang terukir di bibir gadis itu jelas bukan milik Lysandra. Begitu tenang, menghina, dan mematikan.
"Ohh, Lucifer sayang... aku datang untuk membantu," suara itu meluncur pelan, namun terdengar jelas. "Kau bisa bilang... aku adalah pelindung bayangan."Lucifer menatap bingung, napasnya terengah. "Jangan-jangan kau—!"
"Aku hanya meminjamnya selama sepuluh menit. Kami punya kesepakatan."
Kesepakatan? Gumam Theodore yang kini berdiri tak jauh dari mereka, masih memegangi pedangnya. Matanya menyipit tajam. "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku?" Dravella tersenyum, lalu menyentuh dadanya sendiri dengan jari telunjuk. "Aku adalah makhluk yang tertidur dalam darahnya. Yang selama ini kalian anggap sebagai ancaman dunia."
"Dravella," ucap Heigon dari kejauhan. "Itu... benar-benar Dravella..."
Theodore menggenggam gagang pedangnya makin kuat. Aura suci dari senjatanya bergetar, mencoba menolak keberadaan gelap di hadapan mereka.
"Jadi kau datang untuk menyelamatkan Lucifer?" tanya Theodore dengan nada sinis.
"Sesuai kesepakatan dengan gadis itu, Lucifer tidak boleh mati. Untuk saat ini," jawab Dravella ringan.
Ia menoleh ke arah Lucifer, tatapannya seperti sedang menilai seonggok barang rusak. "Sayang sekali... kau hampir mati karena kebodohanmu sendiri."
Lucifer mengatupkan rahangnya. "Dan kenapa kau mau membantuku?"
"Karena gadis keras kepala itu yang memintanya. Sayangnya, aku terikat pada satu aturan..." Dravella mengangkat jari telunjuknya. "Aku tidak boleh membunuh siapa pun."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Villainess He Shouldn't Love [HIATUS]
RandomRewrite ver __________________________________ Start : 31 Maret 2025 End : ? Cover : Canva Ilustrasi : Pinterest ⚠ Don't copy my story, jika ada kesamaan nama tokoh, setting, dsb, itu tidak disengaja. Thanks.